20/09/15

Benarkah Olahraga tidak Membuat Anda Langsing?

Kelebihan berat badan atau obesitas merupakan keadaan yang bisa membahayakan kesehatan. Anda mungkin sudah melakukan berbagai usaha untuk mengatasinya.
Namun, jika selama ini Anda melakukan olahraga untuk melangsingkan badan, itu merupakan anggapan yang salah.

Dalam sebuah artikel untuk jurnal kesehatan terkemuka di Inggris, salah satu penulis, dr Aseem Malhotra mengkritik keras industri makanan dan menyalahkan salah satu perusahaan makanan dan minuman bermerek, karena telah salah beranggapan bahwa aktivitas fisik dan olahraga dapat mencegah orang menjadi gemuk.

Beberapa penulis dan Aseem mengatakan, kebenarannya adalah aktivitas fisik dan olahraga hanya berguna dalam mengurangi risiko penyakit jantung, demensia dan kondisi lain, bukan menurunkan berat badan.
"Masih banyak yang keliru dan percaya bahwa obesitas adalah sepenuhnya karena kurangnya olahraga," kata Aseem seperti dilansir dari Theguardian, Sabtu (19/9).

"Persepsi yang salah" ini diklaim mereka dalam tulisan di British Journal of Sport Medicine. "Ini semua berakar dari industri makanan yang menggunakan taktik yang sama dengan perusahaan rokok. Menyangkal, meragukan, dan membuat publik bingung. Bahkan, membeli loyalitas para ahli dengan mempertaruhkan jutaan nyawa," tulisnya

Berbeda pandangan, menurut salah seorang profesor diet dan kesehatan penduduk di Oxford University, Prof. Susan Jebb, para penulis tersebut gagal untuk mencatat bahwa program penurunan berat badan yang menggabungkan diet dan aktivitas fisik atau olahraga adalah cara paling sukses untuk menurunkan berat badan dengan jangka pendek (3-6 bulan) dan jangka menengah (12 bulan).
REPUBLIKA.CO.ID, 

18/09/15

Hambat Pikun dengan Vitamin D

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam 50 tahun mendatang, penyakit Alzheimer dan demetia atau kepikunan diperkirakan akan semakin banyak diderita lansia di seluruh dunia. Para peneliti mempelajari vitamin D untuk melihat apakah bisa memperlambat awal dementia.
Vitamin D didapat dari matahari dan dari beberapa makanan seperti kacang-kacangan, lentil dan lemak ikan.
Para peneliti mendapati bahwa tingkat vitamin D yang rendah bisa dihubungkan dengan dementia dan penyakit Alzheimer, salah satu bentuk dementia yang paling umum. Alzheimer bisa sangat melelahkan bagi orang yang merawat penderita penyakit itu dan menakutkan mereka yang menderitanya.
"Saya pernah mengalami hal yang sangat buruk ketika saya mau masuk mobil, saya tidak hanya lupa mau pergi ke mana, tapi saya juga tidak tahu berada di mana," kata penderita dementia, Chris Roberts.
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO memperkirakan lebih dari 47 juta orang menderita dementia, dan sekitar 60 persen di antaranya berasal dari negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, yang paling tidak mampu menanggulangi penyakit ini.
Ilmuwan AS mempelajari lansia dan mengukur tingkat vitamin D dan kemampuan kognitif mereka: yaitu, kemampuan untuk mengingat dan berpikir.
“Beberapa subyek menderita dementia parah, beberapa mengalami kerusakan kognitif ringan dan beberapa mempunyai apa yang kita sebut fungsi kognitif normal," kata Dr. Joshua Miller dari Universitas Rutgers.   
Para peneliti menemukan sekitar 60 persen anggota kelompok itu kekurangan vitamin D.
“Mereka yang menderita dementia juga memiliki status vitamin D yang lebih rendah daripada mereka yang memiliki kerusakan kognitif ringan atau mereka yang mempunyai fungsi kognitif normal," kata Miller.
Mereka yang memiliki kadar vitamin D yang rendah menunjukkan lebih banyak kehilangan daya ingat jangka pendek, begitu juga kemampuan untuk mengatur pikiran mereka, memprioritaskan tugas dan membuat keputusan.
“Kondisi mereka menurun dua setengah kali lebih cepat daripada mereka yang cukup memiliki vitamin D,” kata Miller.
Walaupun penelitian ini menunjukkan bahwa vitamin D tampaknya memainkan peranan penting dalam memperlambat awal dementia, penelitian yang lebih banyak dibutuhkan untuk melihat apakah suplemen vitamin D bisa membantu memperlambat penurunan ini.
Penelitian ini dipublikasikan di Jurnal Asosiasi Medis Amerika.